Bianglala Pemikiran Sumitro

Oleh: Ahmad Erani Yustika

“One of the principal architects of Indonesia’s post-independence economic policy”, tulis Thee Kian Wie (2001) mengenai Sumitro Djojohadikusumo.

Belakangan ini, nama Sumitro—ayahanda Presiden RI Prabowo Subianto—naik ke altar percakapan di tanah air. Pada 4 Juni 2025 lalu, ISEI, BI, dan BPS menyelenggarakan diskusi bersama FEB Universitas Mulawarman, di mana saya menjadi salah satu panelisnya. Diskusi tersebut fokus menelisik kembali pokok-pokok pikiran Pak Cum (nama panggilan Sumitro) terkait teori dan kebijakan ekonomi.

Selain Bung Hatta, seharusnya ia menjadi rujukan kokoh bangsa dalam menyingkap dan mengungkap sejarah ekonomi nasional pasca-kemerdekaan. Keduanya adalah peletak dasar haluan ekonomi bangsa, termasuk terlibat dalam perundingan genting negara seperti KMB (Konferensi Meja Bundar). Kini takdir membawa salah satu raksasa pemikir ekonomi bangsa ini kembali ke mimbar perbincangan ketika Indonesia dan dunia menghadapi aneka gesekan besar.


Lima Pilar Pemikiran

Indonesia pasca-kemerdekaan diwarisi oleh ragam perkara ekonomi yang sukar diurai. Sumitro (1953) merekam sekurangnya lima isu penting ekonomi yang mesti digarap secara intensif, yakni:

  1. Ketimpangan ekonomi merupakan warisan dari sistem kolonial. Sepuluh tahun sebelum merdeka, 0,5% penduduk Eropa menguasai 60% pendapatan nasional; sedangkan 98% penduduk hanya memperoleh 20% pendapatan.
  2. Kesempatan kerja, pengangguran, dan lapangan kerja produktif adalah jalur untuk mendobrak belenggu kemiskinan.
  3. Penerimaan ekspor negara-negara berkembang yang memiliki banyak hutang luar negeri telah terhisap oleh pembayaran cicilan hutang pokok dan bunga.
  4. Pengawasan administrasi yang berlebihan melalui berbagai peraturan tidak membawa faedah, bahkan menambah beban ekonomi masyarakat.
  5. Efisiensi ekonomis dalam tata susunan masyarakat adalah prasyarat bagi terwujudnya “keadilan” dan “pemerataan”.

Sebagai figur yang menempuh pendidikan terbaik saat itu (memegang gelar doktor pada usia 25 tahun) di Netherlands School of Economics – Rotterdam, Pak Cum memikirkan dan mengelola persoalan-persoalan tersebut dengan keteguhan pemikiran ekonomi yang tegak di atas lima pilar utama:

  • Pertama, ekonomi tidak bisa lepas dari politik. Maka, pendekatan ekonomi-politik adalah cara yang tepat dalam mendesain pembangunan ekonomi. “Sebagai seorang ekonom profesional, saya termasuk kategori yang mengutamakan bidang permasalahan yang dulu lazim dianggap sebagai political economy,” catat Sumitro (1987).
  • Kedua, negara harus turun ke arena ekonomi (agent of development), bukan untuk menguasai, tapi memastikan arah perjalanan dan stabilisasi ekonomi ketika terjadi gangguan. Kedua pilar ini menjadi identitas inti pemikirannya.
  • Ketiga, penciptaan lapangan kerja dan pemerataan kesejahteraan merupakan fondasi pembangunan. Kebijakan fiskal difokuskan untuk tujuan tersebut, mirip pemikiran John Maynard Keynes.
  • Keempat, sumber daya domestik harus digerakkan melalui riset, teknologi, dan transformasi industri. Sumitro meyakini bahwa industrialisasi adalah jalan utama menuju kejayaan ekonomi, meski keyakinan ini membuatnya sempat bersilang pendapat dengan sahabatnya, Sjafrudin Prawiranegara.
  • Kelima, ekonomi desa dan usaha kecil harus kuat melalui organisasi koperasi yang mapan. Pemberdayaan ekonomi harus selaras dengan penguasaan institusi koperasi. Disertasinya pun membahas soal kredit rakyat, khususnya di masa depresi.

Politik Pembangunan

Sumitro percaya bahwa pendekatan “ekonomi-politik” merupakan alat paling ampuh bagi negara berkembang, yang memiliki karakter politik, sejarah, dan budaya tersendiri. Maka, “ekonomi normatif” tidak akan cukup. Ia menegaskan:

“Di negara-negara industri tujuan pokok untuk kebijaksanaan pemerintahan terutama bersifat politik konjungtur. Di daerah-daerah yang underdeveloped, tujuan pokok untuk kebijaksanaan harus lebih mengutamakan politik pembangunan.”

Konsep politik pembangunan menjadi dasar tafsir afirmatif terhadap sektor dan pelaku ekonomi tertentu.

Ia juga menyebut bahwa kebijakan pemerintah harus secara aktif menentukan arah produksi dan investasi, baik di sektor agraria maupun industri. Negara berkembang perlu terus melakukan penyesuaian struktural (perennial structural adjustment) yang menyentuh tiga aspek: pertumbuhan bernilai tambah, penciptaan lapangan kerja produktif, dan keseimbangan pembayaran luar negeri.

Negara juga harus fokus pada sektor-sektor tertentu yang dipilih secara selektif dan bertahap. Tak heran, pada 1951–1952, ia menyusun dokumen penting: Rencana Urgensi Perkembangan Industri.

Sebagai ekonom yang tumbuh dalam tradisi strukturalis Eropa, Sumitro kritis terhadap pasar dan kekuatan politik ekonomi di belakangnya. Ia menyatakan:

“Tidak wajar dan tidak mungkin pemerintah menyerahkan kegiatan ekonomi kepada ‘permainan kekuatan-kekuatan pasar secara bebas’.”

Namun, ia juga mengingatkan agar intervensi negara tidak disalahgunakan untuk melanggengkan kepentingan golongan tertentu (vested interest groups).


Ekonomi Rakyat dan Reforma Agraria

Di luar makroekonomi, Sumitro sangat perhatian pada isu ekonomi rakyat—khususnya koperasi dan kredit rakyat. Disertasinya, Het Volkscredietwesen in de Depressie (Kredit Rakyat Pada Masa Depresi), mengupas hal tersebut.

Ia juga menyoroti reforma agraria. Katanya:

“Masalah di negara berkembang ialah produksi pertanian diselenggarakan oleh petani produsen kecil, sehingga produktivitasnya rendah.”

Reforma agraria menjadi solusi masuk akal. Tapi jika sistem ekonomi berbasis rente dan petani terjebak dalam utang, reforma itu tak akan efektif. Maka, dibutuhkan penciptaan pendapatan di luar sektor pertanian—yakni melalui industrialisasi dan transmigrasi (Rahardjo, 2017).

Terkait kredit, Sumitro menyarankan agar tidak disalurkan melalui bank konvensional, melainkan lewat koperasi. Menurutnya, bank cenderung memandang kredit sebagai bisnis semata, sedangkan koperasi adalah alat perjuangan rakyat.

Ia menegaskan: reforma agraria juga seharusnya berbasis koperasi, bukan kepemilikan individual. Individualisasi hanya menempatkan petani dalam posisi lemah berhadapan dengan pelaku hilir yang dominan. Model koperasi yang kuat seperti di Eropa Barat adalah jawaban.

Pandangan Sumitro sejalan dengan Bung Hatta:

“Koperasi bisa menempa ekonomi rakyat yang lemah agar menjadi kuat.”

Ia juga percaya pengusaha nasional harus lebih diberi kepercayaan dalam proyek pemerintah ketimbang perusahaan asing yang sudah besar. Pandangan inilah yang melandasi Program Ekonomi Benteng (1950–1951).


Reaktualisasi Gagasan Sumitro

Bianglala pemikiran Sumitro memiliki gema keras di masa kini. Meski telah berlalu lebih dari enam dekade, kerangka pikirnya tetap relevan sebagai acuan kebijakan.

  • Pertama, pendekatan strukturalis masih penting untuk perubahan mendasar. Struktur sosial ekonomi masyarakat hierarkis dan eksploitatif, sehingga perlu dirombak lewat penciptaan lapangan kerja berkualitas dan transformasi sektor industri. Reforma agraria adalah amunisi utamanya.
  • Kedua, peran negara aktif sangat diperlukan, bukan untuk “fixing the market”, melainkan “co-shaping the market” (Mazzucato, 2021). Negara hadir membela rakyat tanpa terjebak dalam rente.
  • Ketiga, industrialisasi adalah keniscayaan yang bertumpu pada sektor unggulan. Pemerintah kini mendorong hilirisasi dan kedaulatan energi—tema yang sejak dulu dipikirkan oleh Pak Cum.
  • Keempat, kebijakan harus berpihak namun dieksekusi teknokratis, agar sistematis dan terukur. Afirmasi kebijakan perlu target dan dosis yang tepat, agar tak menimbulkan distorsi.
  • Kelima, pemberdayaan rakyat harus bertumpu pada penguatan individu dan organisasi. Jika ekonomi masyarakat dan kelembagaan koperasi diperkuat bersama, ekonomi rakyat akan menyala terang.

Reaktualisasi gagasan ini menjadikan Indonesia kaya jejak sejarah pemikiran ekonomi. Mandat kita hari ini adalah memastikan agar “fatwa” Marx tidak menjadi kenyataan:

History repeats itself, first as tragedy, second as farce.


Ahmad Erani Yustika
Guru Besar FEB Universitas Brawijaya; Ekonom Senior Indef

 

Artikel ini ditulis oleh:
Abdul Jalil

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *