Jakarta, bincang.id – Grant Thornton Indonesia, sebuah perusahaan global yang bergerak di bidang asuransi, pajak, dan konsultasi, baru-baru ini mengungkap tiga faktor kunci untuk mempercepat tercapainya kesetaraan gender di level kepemimpinan bisnis.
Dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Minggu (9/3), CEO Grant Thornton Indonesia, Johanna Gani, menegaskan bahwa kesetaraan gender bukan hanya soal keadilan semata, melainkan juga strategi jangka panjang untuk menciptakan lingkungan bisnis yang inovatif, kompetitif, dan berkelanjutan.
Bagi banyak orang, gender equality mungkin terdengar seperti jargon klise. Padahal, di tengah persaingan dunia bisnis yang semakin ketat, isu ini justru menjadi sangat relevan. Baik di tingkat global maupun nasional, kehadiran perempuan di kursi kepemimpinan perusahaan masih memerlukan dukungan yang lebih konkret.
Menurut Johanna, perusahaan harus proaktif dalam menempatkan pemimpin perempuan potensial, jangan sampai mereka tersingkir atau tertinggal oleh dinamika bisnis yang bergerak cepat. Kalau perusahaan lengah, bukan tidak mungkin kita bakal kehilangan generasi pemimpin perempuan yang punya segudang ide kreatif dan inovatif.
Nah, berikut adalah tiga faktor kunci yang diungkapkan Grant Thornton Indonesia untuk mendorong dan mempercepat tercapainya keseimbangan gender di lingkup bisnis, khususnya di posisi level manajerial atas.
1. Menetapkan Target Ambisius pada Level Manajemen Senior
Langkah pertama yang disorot Johanna adalah pentingnya menetapkan target ambisius untuk memperbanyak jumlah perempuan di posisi manajemen senior. Artinya, perusahaan perlu punya peta jalan (roadmap) yang jelas soal berapa persen perempuan yang diharapkan berada di jabatan tertentu, termasuk menentukan posisi-posisi strategis mana saja yang bisa diisi.
Mungkin ada yang bertanya, “Kenapa harus ditetapkan target seperti itu? Bukankah yang penting adalah kemampuan?” Tentu, kemampuan tetap jadi kunci. Namun, pengalaman menunjukkan bahwa banyak perusahaan sering kali terjebak dalam bias tidak sadar (unconscious bias) saat melakukan promosi jabatan.
Baik laki-laki maupun perempuan dihadapkan pada stereotip yang sulit ditembus. Laki-laki biasanya dinilai lebih “siap” memimpin, sementara perempuan kerap kali diragukan karena berbagai alasan, mulai dari tanggung jawab keluarga hingga persepsi soal keterampilan.
Di sinilah pentingnya target kuantitatif. Dengan adanya target yang terukur, perusahaan akan lebih terdorong untuk mengevaluasi proses rekrutmen, promosi, hingga penempatan posisi kunci. Tak cuma itu, manajemen pun jadi punya tolok ukur konkret: apakah realisasi jumlah pemimpin perempuan mendekati target, atau justru masih jauh panggang dari api. Praktik ini juga mengirim sinyal yang jelas kepada seluruh pemangku kepentingan bahwa kesetaraan gender bukan lagi sekadar wacana, melainkan misi bisnis yang serius.
Lebih lanjut, menetapkan target ambisius juga memudahkan perusahaan untuk merumuskan kebijakan dan program pendukung. Misalnya, dengan memperkuat jalur suksesi (succession planning) bagi karyawan perempuan, atau dengan memberikan pelatihan intensif yang disesuaikan untuk mempersiapkan mereka mengambil peran kepemimpinan. Target yang jelas membuat setiap level organisasi menyadari bahwa peningkatan jumlah perempuan di posisi manajemen senior adalah tanggung jawab bersama, bukan hanya urusan divisi SDM.
2. Komitmen pada Dukungan di Setiap Tahap Karier Perempuan
Faktor kedua yang sama pentingnya adalah komitmen perusahaan dalam mendukung perempuan di setiap tahap perkembangan karier. Johanna menegaskan, tanpa dukungan semacam ini, perusahaan bisa kehilangan potensi pertumbuhan yang signifikan.
Mengapa? Karena banyak perempuan berkualitas yang akhirnya keluar dari jalur karier—entah karena merasa kurang diapresiasi, kurang fleksibilitas kerja, atau tidak mendapat kesempatan pengembangan yang memadai.
Mari kita bayangkan skenario yang sering terjadi: seorang karyawan perempuan berprestasi di level menengah, namun ketika ingin naik ke level yang lebih tinggi, ia dihadapkan pada berbagai tantangan, baik di ruang kerja maupun di rumah. Misalnya, ketika menjalani peran sebagai ibu, tantangan mengurus anak dan keluarga kerap kali menjadi beban ganda yang menyita pikiran.
Perusahaan yang tidak peka terhadap kebutuhan ini akan kehilangan banyak talenta cemerlang. Ujung-ujungnya, mereka pindah ke perusahaan lain yang lebih suportif atau bahkan memutuskan berhenti bekerja.
Untuk mengatasi hal tersebut, Grant Thornton Indonesia menyarankan beberapa program, misalnya program pembinaan karier jangka panjang, mentoring, dan dukungan pengembangan profesional. Mentoring oleh pemimpin perempuan yang lebih senior dapat menjadi inspirasi, sementara pelatihan khusus—misalnya pelatihan kepemimpinan, manajemen waktu, dan negosiasi—bisa membantu perempuan mengasah keterampilan yang dibutuhkan untuk menembus “tembok” kepemimpinan.
Selain itu, fleksibilitas jam kerja dan pengaturan cuti yang ramah keluarga juga menjadi poin penting. Di era pascapandemi, konsep kerja hybrid atau remote sudah semakin diterima. Dengan kemajuan teknologi, rapat dan koordinasi bisa dilakukan secara virtual, sehingga perempuan—atau siapa pun—tidak harus selalu berada di kantor untuk terus produktif. Hal-hal inilah yang sejatinya menunjukkan keseriusan perusahaan dalam mendukung pengembangan karier perempuan di setiap tahap.
3. Mendorong Keseimbangan Gender dalam Rantai Pasokan dan Kemitraan Bisnis
Terakhir, Grant Thornton Indonesia menekankan perlunya mendorong keseimbangan gender tidak hanya di dalam organisasi, tetapi juga di rantai pasokan serta kemitraan bisnis. Menurut Johanna, perusahaan memiliki pengaruh besar terhadap ekosistem bisnis mereka.
Jika perusahaan hanya fokus pada internal saja, proses transformasi mungkin akan lambat dan terbatas. Namun, bila mereka ikut mengimbau mitra bisnis, investor, dan pemasok untuk mengadopsi strategi keberagaman, efeknya bisa lebih luas.
Bayangkan, misalnya, sebuah perusahaan besar yang bekerjasama dengan banyak vendor untuk berbagai kebutuhan—dari logistik hingga teknologi informasi. Jika mereka secara jelas menyatakan preferensi atau dukungan terhadap vendor yang mempraktikkan kesetaraan gender, vendor lain akan terpacu untuk melakukan hal yang sama.
Ini menciptakan efek domino di lingkungan bisnis yang lebih luas. Dalam jangka panjang, keseimbangan gender tidak lagi jadi isu “eksklusif” di lingkup perusahaan tertentu saja, melainkan menjadi budaya umum di seluruh rantai suplai.
Selain itu, mendorong keseimbangan gender juga dapat menjadi keuntungan kompetitif. Dunia bisnis saat ini amat dinamis; keberagaman dalam tim sering kali menjadi sumber inovasi yang tak terduga. Tim yang beragam cenderung lebih kreatif dan mampu menghasilkan solusi yang lebih inklusif.
Dengan kata lain, mengadopsi prinsip “gender balance” di ekosistem bisnis bukan semata-mata demi citra atau sekadar memenuhi tanggung jawab sosial perusahaan, melainkan juga bisa menambah daya saing di pasar.
Laporan “Women in Business” 2025: Potret Kesetaraan Gender Global
Dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional 2025, Grant Thornton Indonesia merilis laporan tahunan “Women in Business” yang memaparkan perkembangan perempuan di posisi manajemen senior secara global. Temuan laporan ini menunjukkan, di seluruh dunia, perempuan masih lebih banyak menjabat di bidang Sumber Daya Manusia (SDM) dan keuangan.
Data spesifiknya menyebut, keterwakilan perempuan di posisi Chief Human Resources Officer (CHRO) mencapai 47,6 persen, diikuti oleh Chief Financial Officer (CFO) sebesar 44,6 persen, dan Chief Marketing Officer (CMO) sebesar 33,3 persen.
Meski angka-angka tersebut terlihat menggembirakan, nyatanya jumlah perempuan yang berhasil menjadi CEO masih relatif rendah, yaitu hanya 21,7 persen. Angka ini menegaskan bahwa masih ada gap besar untuk memastikan perempuan dapat benar-benar menembus posisi kepemimpinan tertinggi. Memang, peningkatan jumlah pemimpin perempuan di level menengah cukup signifikan, tetapi transisi menuju posisi puncak masih jadi tantangan.
Johanna menyebut, “Hari Perempuan Internasional 2025 bukan cuma perayaan, melainkan juga peringatan bahwa kita harus bergerak lebih cepat untuk mencapai kesetaraan gender di tempat kerja.” Pernyataan ini seolah menekankan bahwa waktu kita tidak banyak. Dunia bisnis terus berubah, dan mereka yang beradaptasi lebih awal—termasuk dalam hal keberagaman gender—akan memiliki kesempatan untuk maju lebih pesat.
Kenapa Isu Gender Masih Relevan?
Mungkin ada yang merasa bahwa isu kesetaraan gender sudah cukup sering dibahas. Namun, kenyataan di lapangan masih jauh dari ideal. Menurut beberapa studi, keberagaman di tim manajemen berdampak positif pada kinerja finansial perusahaan.
Perempuan pemimpin kerap membawa perspektif baru, berpotensi meningkatkan inovasi, serta mampu mengakomodasi kebutuhan pelanggan dengan lebih beragam.
Selain itu, kesetaraan gender sejatinya bukan hanya soal memberi “hak” yang sama, melainkan juga membuka kesempatan untuk memaksimalkan talenta tanpa memandang jenis kelamin. Perempuan, ketika didukung dengan fasilitas dan lingkungan yang kondusif, dapat menunjukkan kapabilitas luar biasa di semua lini bisnis, mulai dari operasional, penjualan, teknologi, hingga riset dan pengembangan produk.
Tidak dapat dipungkiri pula bahwa generasi muda saat ini—baik laki-laki maupun perempuan—mengharapkan budaya kerja yang terbuka, inklusif, dan adil. Jika perusahaan masih menerapkan pola pikir lama yang bias terhadap perempuan, besar kemungkinan talenta muda berbakat akan mencari tempat lain yang lebih selaras dengan nilai-nilai mereka. Alhasil, bisnis berpotensi kehilangan calon-calon pemimpin masa depan yang bisa memberikan terobosan dan pertumbuhan.
Menatap Masa Depan
Ketiga faktor kunci yang diutarakan Grant Thornton Indonesia—menetapkan target ambisius untuk manajemen senior, mendukung karier perempuan di setiap tahap, serta mendorong keseimbangan gender dalam rantai pasokan—merupakan langkah strategis yang saling melengkapi. Tanpa target yang jelas, susah rasanya membuat kebijakan yang tepat sasaran.
Tanpa dukungan di berbagai jenjang, banyak perempuan berbakat akan gugur sebelum mencapai puncak karier. Dan tanpa dorongan terhadap mitra bisnis, penerapan kesetaraan gender akan berjalan lambat karena ekosistem di sekitar perusahaan belum tentu mendukung.
Dengan kata lain, kesetaraan gender dalam kepemimpinan bukan sekadar perkara “mengejar angka.” Ini adalah upaya jangka panjang untuk menumbuhkan budaya kerja yang menghargai perbedaan, memacu kreativitas, serta mempersiapkan bisnis menghadapi tantangan masa depan.
Kalau kita mau jujur, tidak ada yang benar-benar diuntungkan ketika bakat-bakat potensial, khususnya para perempuan, dihambat untuk berkembang. Kerugian tersebut bukan hanya dialami oleh individu, tapi juga oleh perusahaan dan perekonomian secara keseluruhan.
Jadi, bro dan teman-teman semua, mari kita dukung langkah-langkah yang sudah dicanangkan ini. Bukan berarti pria jadi tersingkir atau kehadiran perempuan merugikan laki-laki. Sebaliknya, semakin banyak pemimpin perempuan yang berkiprah, semakin kaya pula perspektif yang bisa dihadirkan dalam pengambilan keputusan. Dan itu, pada akhirnya, akan membawa manfaat bagi kinerja perusahaan dan pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif.
Semoga ke depan, lewat berbagai inisiatif dari perusahaan-perusahaan terkemuka seperti Grant Thornton Indonesia, kita akan melihat semakin banyak pemimpin perempuan yang mengambil posisi puncak. Bukan hanya sebagai CHRO atau CFO, tetapi juga sebagai CEO, COO, bahkan Chairman atau Chairwoman. Dengan begitu, kita bisa benar-benar mewujudkan lingkungan bisnis yang beragam, adil, dan maju bersama-sama.
Toh, pada akhirnya, kesetaraan gender bukan semata slogan, melainkan tanggung jawab seluruh pemangku kepentingan. Berbekal strategi yang tepat, komitmen yang kuat, dan dukungan dari semua pihak—baik laki-laki maupun perempuan—bukan mustahil kesetaraan gender di puncak kepemimpinan bisnis bisa tercapai lebih cepat. Dan saat hal itu terjadi, kita semua, tanpa kecuali, akan menuai manfaatnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Ratih Kusumawanti