Swasembada Energi Bukan Mimpi (Bagian 1)

Swasembada Energi dan Tantangan Menuju Kemandirian Nasional

Prof. Herman Agustiawan, Ph.D

Oleh: Prof. Herman Agustiawan, Ph.D
Pakar Ketahanan Energi
Anggota Dewan Energi Nasional 2009-2014
Pendiri Prodi Ketahanan Energi Universitas Pertahanan

Negara yang mampu memenuhi kebutuhan energinya secara mandiri, tanpa mengandalkan impor dari negara lain, layak disebut sebagai negara swasembada energi. Negara-negara seperti Norwegia, Rusia, Arab Saudi, Kanada, Brasil, Islandia, dan Amerika Serikat telah mencapai atau hampir mencapai status ini.

Swasembada Energi untuk Indonesia

Bagi Indonesia, swasembada energi berarti pemanfaatan seluruh potensi lokal dalam mengelola sumber daya alam (SDA) dan sumber daya energi (SDE) untuk kemakmuran rakyat, sesuai dengan amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Potensi lokal yang dimaksud meliputi modal, teknologi, dan sumber daya manusia (SDM), yang didukung oleh kebijakan pemerintah yang berpihak kepada kepentingan nasional.

Ketiga elemen ini diperlukan untuk mengeksplorasi SDA dan SDE dari daratan, dasar laut, dan udara, yang kemudian diolah menjadi energi primer dan energi final. Energi tersebut digunakan oleh empat sektor utama: industri, transportasi, bangunan komersial, dan rumah tangga.

Pengelolaan potensi lokal diharapkan mampu menggulirkan roda ekonomi nasional, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan daya beli masyarakat, sebagaimana termaktub dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Namun, jika pengelolaan ini masih bergantung pada pihak asing, kedaulatan Indonesia atas kekayaan alamnya belum sepenuhnya tercapai.

Ketahanan Energi dan Pertahanan Negara

Ketahanan energi (energy security) didefinisikan sebagai kemampuan suatu negara untuk mengatasi gangguan dan ancaman, baik dari dalam maupun luar negeri, demi menjaga ketersediaan energi dalam jumlah dan jenis yang memadai. Gangguan ini bisa berupa bencana alam, pandemi, eskalasi geopolitik, hingga perang militer atau non-militer, termasuk perang asimetris.

Pengelolaan energi bertujuan untuk menciptakan ketahanan energi agar negara tidak mengalami krisis energi (kekurangan energi) atau darurat energi (gangguan pasokan akibat infrastruktur yang rusak). Ketahanan energi yang kuat adalah syarat mutlak bagi negara yang ingin mencapai swasembada energi.

Ketahanan energi juga menjadi pilar ketahanan nasional. Negara dengan ketahanan energi tinggi akan lebih tangguh dalam menghadapi ancaman, sekaligus memperkuat pertahanan nasional.

Peran ALKI dan Energi dalam Pertahanan

Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) yang strategis. TNI Angkatan Laut memegang tanggung jawab penting untuk menjaga keamanan maritim di wilayah ini. Wilayah ALKI meliputi Selat Malaka, Sunda, Lombok, dan Selat Makassar, yang merupakan jalur penting perdagangan dunia.

Selat Malaka, misalnya, menghubungkan Samudra Hindia dengan Samudra Pasifik dan menjadi jalur terpendek bagi distribusi migas dari Timur Tengah ke Asia Timur. Menurut data Energy Information Agency (EIA), pada 2022, sekitar 16,1 juta barel minyak mentah, 6,8 juta barel produk petrokimia, dan 8 miliar kaki kubik LNG diangkut melalui selat ini setiap harinya.

Ketahanan energi memainkan peran vital dalam memastikan keamanan perbatasan, terutama di tengah tantangan global yang semakin kompleks, seperti ancaman perang asimetris.

Perang Asimetris dan Pengelolaan Energi

Perang asimetris dapat menghancurkan negara tanpa senjata militer. Metodenya meliputi perang siber, perang biologis, hingga melemahkan sektor energi. Pengelolaan energi yang lemah akan berdampak langsung pada produktivitas nasional dan kesejahteraan masyarakat.

Indonesia, dengan populasi produktif yang mencapai 196,6 juta jiwa, harus memastikan adanya lapangan kerja melalui pertumbuhan sektor-sektor yang padat energi, seperti industri dan transportasi. Bonus demografi yang diprediksi terjadi pada 2025-2030 memerlukan perencanaan matang agar energi tersedia untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif.

Kepastian Hukum dan Ketahanan Energi

Ketahanan energi tidak hanya tentang ketersediaan pasokan, tetapi juga aksesibilitas energi dengan harga terjangkau. Hal ini penting, mengingat masyarakat Indonesia mengalokasikan hingga 30 persen pengeluaran rumah tangga untuk biaya energi.

Tambahan konsumsi energi menjadi kebutuhan mendesak untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 8 persen per tahun yang dicanangkan pemerintah. Tanpa ketahanan energi, gangguan pasokan dapat memicu lonjakan harga, menurunkan daya beli, dan menggoyahkan stabilitas sosial-ekonomi.

Namun, ketidakpastian hukum, seperti penerapan UU Tipikor yang kerap dianggap menakutkan bagi pelaku bisnis, menghambat investasi di sektor energi. Situasi ini dirasakan oleh perusahaan migas, baik lokal maupun asing, termasuk Pertamina yang minim investasi baru di sektor hulu migas selama lebih dari satu dekade.

Kesimpulan

Indonesia belum sepenuhnya berdaulat atas kekayaan alamnya, karena ketergantungan terhadap pihak asing masih besar. Perang asimetris, seperti gangguan pada pengelolaan energi, berpotensi melemahkan ketahanan energi yang menjadi syarat tercapainya swasembada energi.

Untuk itu, diperlukan upaya serius dari semua pihak agar cita-cita swasembada energi tidak hanya menjadi mimpi. “Jangan biarkan pengganggu energi memadamkan cahaya masa depan bangsa!”

Artikel ini ditulis oleh:
Areng Permana

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *