Swasembada Energi Bukan Mimpi (Bagian 3)

Ketahanan Energi Indonesia: Apakah Benar Sudah Tahan?

Prof. Herman Agustiawan, Ph.D

Oleh: Prof. Herman Agustiawan, Ph.D
Pakar Ketahanan Energi
Anggota Dewan Energi Nasional 2009-2014
Pendiri Prodi Ketahanan Energi Universitas Pertahanan (UNHAN)

Presiden Prabowo Subianto telah mencanangkan program Swasembada Energi sebagai salah satu prioritas utama pemerintahannya. Dalam pidato perdananya pada 20 Oktober 2024, setelah dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia ke-8, beliau menegaskan pentingnya mengurangi ketergantungan pada energi impor. Menurut Presiden, krisis global dan ketegangan geopolitik telah memperlihatkan bahwa setiap negara akan mengutamakan kebutuhan domestiknya terlebih dahulu. Oleh karena itu, ketergantungan pada sumber energi luar negeri menjadi ancaman serius yang harus segera diatasi.

Indonesia, yang memiliki kekayaan sumber daya energi (SDE) baik fosil maupun energi baru terbarukan (EBT), masih menghadapi tantangan dalam optimalisasi pemanfaatannya. Presiden berkomitmen untuk menjadikan Indonesia sebagai negara yang mandiri dalam sektor energi. Namun, mewujudkan swasembada energi memerlukan upaya yang lebih kompleks dibandingkan sekadar mencapai ketahanan energi.

Ketahanan Energi Indonesia: Apakah Benar Sudah Tahan?

Menurut Dewan Energi Nasional (DEN), Indeks Ketahanan Energi (IKE) Indonesia mencapai skor 6,64 dalam rentang 6,0-7,99, yang dikategorikan sebagai “tahan”. Indeks ini dihitung berdasarkan empat aspek utama:

  1. Ketersediaan: Menjamin pasokan energi yang cukup.
  2. Aksesibilitas: Tersedianya infrastruktur energi.
  3. Keterjangkauan: Volatilitas harga energi.
  4. Penerimaan: Dampak lingkungan akibat penggunaan energi.

Namun, apakah benar ketahanan energi Indonesia sudah tahan? Jika ditinjau lebih dalam, ada tantangan besar yang perlu diatasi, terutama dalam pengelolaan cadangan penyangga energi.

Krisis Minyak Dunia dan Pelajaran dari Masa Lalu

Sejarah mencatat bahwa krisis energi pernah mengguncang dunia, salah satunya adalah krisis minyak tahun 1973 yang dipicu oleh Perang Yom Kippur. Embargo minyak oleh negara-negara OPEC kala itu menyebabkan harga minyak dunia melonjak tajam, dari 2,9 dolar AS per barel menjadi 11,65 dolar AS per barel. Krisis ini memicu pembentukan blok kerja sama energi seperti International Energy Agency (IEA) dan European Energy Charter (EnCharter).

Negara-negara anggota IEA bahkan menetapkan mekanisme tanggap darurat dengan mewajibkan cadangan penyangga minyak (Strategic Petroleum Reserve/SPR) untuk 90 hari konsumsi. Sayangnya, Indonesia belum memiliki SPR. Saat ini, Pertamina hanya memiliki cadangan operasional yang cukup untuk 2 hingga 3 minggu, sehingga rentan terhadap gangguan pasokan.

Fenomena Ketahanan Energi Semu

Ketahanan energi semu adalah kondisi di mana pasokan energi terlihat cukup, namun rentan terhadap ancaman dan gangguan. Fenomena ini telah menyebabkan “krisis energi senyap” yang berlangsung secara perlahan tanpa pemicu disruptif, namun dampaknya sangat signifikan. Krisis energi global 2021 dan invasi Rusia ke Ukraina pada 2022 adalah contoh nyata bagaimana krisis energi senyap dapat mengganggu perekonomian dan meningkatkan harga energi secara drastis.

Bagi Indonesia, faktor utama penyebab ketahanan energi semu meliputi:

  • Ketergantungan pada energi fosil.
  • Infrastruktur energi yang terbatas.
  • Daya beli energi masyarakat yang rendah.
  • Kebijakan energi yang tidak efektif.

Dampaknya terlihat dari roda ekonomi yang melambat, investasi EBT yang terkendala, serta kerentanan terhadap risiko keamanan energi.

Tantangan Menuju Swasembada Energi

Indonesia menghadapi beberapa kendala besar dalam mencapai swasembada energi, seperti:

  1. Rendahnya Konsumsi Energi Per Kapita: Konsumsi listrik per kapita Indonesia hanya sekitar 1.400 kWh/tahun pada 2024, jauh di bawah ambang batas kesejahteraan UNDP sebesar 4.000 kWh/tahun.
  2. Ketergantungan pada Impor Energi: Sejak 2013, Indonesia bahkan mengimpor listrik dari Malaysia di Kalimantan Barat.
  3. Tidak Tercapainya Target Bauran Energi: Hingga kini, target bauran energi nasional sulit tercapai.

Strategi Mengukur Ketahanan Energi Semu

Beberapa cara untuk mengukur ketahanan energi semu meliputi:

  • Menganalisis indikator konsumsi energi.
  • Menghitung ketergantungan pada energi fosil.
  • Mengukur rasio akses energi.
  • Menilai infrastruktur energi.
  • Mengukur emisi gas rumah kaca (GRK).
  • Memonitor fluktuasi harga energi.
  • Menganalisis investasi untuk EBT.

Namun, salah satu tantangan terbesar adalah ketidakpastian regulasi dan kekhawatiran kriminalisasi, yang membuat banyak pengambil keputusan enggan berinvestasi di sektor energi.

Kesimpulan: Realita Swasembada Energi Indonesia

Meskipun kaya akan sumber daya energi, Indonesia masih jauh dari memenuhi aspek-aspek ketahanan energi secara optimal. Ketahanan energi semu yang dialami Indonesia dapat menjadi ancaman serius jika dibiarkan berlarut-larut. Beberapa indikasi ketahanan energi semu di Indonesia antara lain:

  • Target bauran energi yang tidak tercapai.
  • Rendahnya konsumsi energi per kapita.
  • Investasi infrastruktur energi yang terkendala.
  • Ketergantungan tinggi pada energi fosil.

Jika krisis energi senyap ini terus berlanjut, maka Indonesia akan menghadapi krisis energi nyata yang mengancam keberlangsungan perekonomian, lingkungan, dan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, upaya serius dan terarah diperlukan untuk mencapai swasembada energi yang sejati, bukan sekadar menjadi khayalan.

Artikel ini ditulis oleh:
Areng Permana

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *