Swasembada Energi Bukan Mimpi (Bagian 4)

Bauran Energi: Kunci Ketahanan Energi dan Masa Depan Ekonomi

Prof. Herman Agustiawan, Ph.D

Oleh: Prof. Herman Agustiawan, Ph.D
Pakar Ketahanan Energi
Anggota Dewan Energi Nasional 2009-2014
Pendiri Prodi Ketahanan Energi Universitas Pertahanan (UNHAN)

Setiap negara harus merencanakan dan menyediakan pasokan energi dalam jumlah yang cukup dan beragam. Komposisi jenis dan jumlah energi yang digunakan disebut sebagai “Menu Energi” atau lebih dikenal sebagai Bauran Energi (Energy Mix). Bauran energi adalah jumlah dan jenis energi primer yang dikonsumsi oleh suatu negara, wilayah, atau industri. Energi primer mengacu pada energi yang belum mengalami proses konversi menjadi energi final seperti listrik, BBM, dan gas yang dapat langsung digunakan.

Seperti halnya makanan yang bisa menyebabkan seseorang sakit akibat kekurangan, kelebihan, atau konsumsi yang salah, bauran energi yang tidak seimbang juga dapat menyebabkan krisis dan darurat energi. Indonesia, dengan kekayaan sumber energi yang beragam, seharusnya tidak hanya bergantung pada energi fosil tetapi juga mengembangkan energi baru dan terbarukan (EBT), termasuk nuklir. Bauran energi yang beragam merupakan syarat utama untuk mewujudkan ketahanan energi nasional.

Saat ini, bauran energi dunia masih didominasi oleh bahan bakar fosil, yaitu sekitar 80 persen. Ketergantungan terhadap energi fosil meningkat sejak revolusi industri di negara-negara Barat (1760-1850). Meski demikian, setiap negara memiliki komposisi bauran energi yang berbeda, tergantung pada ketersediaan sumber daya dan kebutuhan masing-masing.

Faktor yang Mempengaruhi Komposisi Bauran Energi

Beberapa faktor utama yang menentukan komposisi bauran energi suatu negara antara lain:

  • Ketersediaan sumber daya energi, baik yang berasal dari dalam negeri maupun impor.
  • Kualitas, kuantitas, dan jenis sumber energi yang harus dipenuhi.
  • Kebijakan dan regulasi pemerintah, berdasarkan data historis, sosial, ekonomi, demografi, lingkungan, dan geopolitik.

Faktor-faktor ini menyebabkan perbedaan bauran energi di berbagai negara. Perbedaan tersebut dapat dihitung dari jumlah energi yang diproduksi, diimpor, diekspor, dan dikonsumsi oleh masing-masing negara.

Bauran Energi untuk Pembangkit Listrik

Bauran energi suatu negara berbeda dengan bauran energi untuk pembangkit listrik, yang bergantung pada kapasitas dan jenis pembangkit yang digunakan. Pada tahun 2022, kapasitas terpasang pembangkit listrik PLN mencapai 81,2 GW dengan komposisi:

  • Batu bara: 67,21%
  • Gas: 15,96%
  • EBT: 14,12%
  • Minyak bumi: 2,71%

Untuk mencapai kemandirian energi, Indonesia perlu memanfaatkan energi nuklir sebagai solusi strategis dalam ketenagalistrikan. Pemerintah melalui Dewan Energi Nasional telah merencanakan kapasitas Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) sebesar 250 MW pada periode 2031-2035, meningkat menjadi 8 GW pada 2036-2040, 21 GW pada 2041-2050, dan 45-54 GW pada 2060.

Target dan Realisasi Bauran Energi

Saat ini, Indonesia masih sangat bergantung pada energi fosil yang kotor, terutama batu bara dan minyak bumi, dengan porsi sekitar 70 persen dari total bauran energi nasional. Sisanya, sekitar 30 persen, berasal dari sumber energi bersih seperti gas dan EBT.

Tantangan utama bagi Indonesia adalah mencapai target energi bersih yang telah disepakati dalam forum internasional seperti COP29 (2024) dan Net Zero Emissions (NZE) 2060. Sayangnya, realisasi konsumsi energi primer juga belum mencapai target. Selama periode 2021-2023, dari target total konsumsi sebesar 990,68 MTOE, hanya 730,13 MTOE yang terealisasi (sekitar 73,7 persen). Oleh karena itu, Indonesia membutuhkan program percepatan pencapaian bauran energi untuk memenuhi target dalam Perpres No. 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) 2025-2050.

Usulan Perbaikan Bauran Energi 2045

Untuk mencapai swasembada energi pada 2045, beberapa langkah yang diusulkan adalah:

  1. Komposisi bauran energi:
    • Batu bara: 25%
    • Minyak bumi: 20%
    • Gas: 20%
    • EBT: 35%
  2. Total konsumsi energi primer: 745 MTOE (sekitar tiga kali lipat dari total konsumsi 2023).
  3. Konsumsi listrik per kapita: 4.000 kWh/tahun.
  4. Total kapasitas pembangkit listrik: 230 GW.
  5. Porsi nuklir dalam bauran pembangkit listrik: 5% atau sekitar 11,5 GW kapasitas PLTN.

Dengan bauran energi yang optimal dan efisien, target konsumsi energi dapat tercapai tanpa mengorbankan kesejahteraan masyarakat. Harapannya, pada 2045 rasio antara energi bersih dan kotor dalam bauran energi masing-masing sebesar 55 persen dan 45 persen.

Hubungan Konsumsi Energi dan Pertumbuhan Ekonomi

Terdapat hubungan erat antara total konsumsi energi dan pertumbuhan ekonomi. Negara dengan pertumbuhan konsumsi energi tinggi, seperti Vietnam, memiliki pertumbuhan ekonomi rata-rata 7,5 persen per tahun, didukung oleh proses industrialisasi yang cepat. Sebaliknya, Malaysia sebagai negara maju baru mengalami pertumbuhan konsumsi energi yang lebih lambat (CAGR 2,1 persen), terutama akibat dampak pandemi Covid-19.

Contoh lain adalah Jepang, yang mengalami perubahan drastis dalam bauran energinya setelah kecelakaan PLTN Fukushima pada 2011. Sebagian besar PLTN di Jepang ditutup, dan pada 2013-2014 tidak ada yang beroperasi. Pada 2015, beberapa PLTN mulai dioperasikan kembali, tetapi hanya 13 unit yang aktif dengan total kapasitas 12.433 MW (sekitar 3,9% dari total konsumsi energi Jepang). Akibatnya, Jepang menghadapi persaingan ketat dari Korea Selatan dan China dalam industri elektronik dan otomotif.

Indonesia memiliki pertumbuhan konsumsi energi yang relatif stabil (4,49 persen) tetapi masih terlalu rendah. Sebagai negara dengan populasi terbesar keempat di dunia, tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia masih perlu ditingkatkan melalui pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, yang memerlukan tambahan pasokan energi, terutama untuk sektor transportasi dan industri yang menyumbang sekitar 60 persen terhadap PDB.

Program untuk Meningkatkan Bauran Energi

Untuk meningkatkan daya saing ekonomi dan ketahanan energi, beberapa program yang diperlukan meliputi:

  1. Diversifikasi energi, agar lebih tahan terhadap fluktuasi pasar energi global.
  2. Peningkatan porsi EBT, untuk menjamin keberlanjutan dan ketahanan energi.
  3. Pemanfaatan gas sebagai energi transisi.
  4. Pengembangan PLTN, sebagai bagian dari RUPTL untuk mencapai swasembada energi.

Rasio Produksi terhadap Konsumsi Energi

Rasio antara output ekonomi (PDB) dan konsumsi energi, atau yang dikenal sebagai Intensitas Energi, menjadi indikator penting dalam menilai efisiensi penggunaan energi suatu negara. Negara dengan intensitas energi rendah mampu menghasilkan nilai ekonomi tinggi dengan konsumsi energi yang lebih efisien. Sebaliknya, negara yang bergantung pada impor energi cenderung memiliki intensitas energi tinggi.

Negara yang dikategorikan ideal memiliki intensitas energi di bawah 1, seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Inggris. Saat ini, Indonesia memiliki intensitas energi sekitar 1,8, yang menunjukkan efisiensi penggunaan energi masih rendah.

Kesimpulan

Bauran energi yang sehat akan menghasilkan intensitas energi yang rendah dan ketahanan energi yang tinggi. Kita harus memilih: bauran energi yang sehat atau kematian ekonomi perlahan? Bauran energi yang tidak sehat adalah resep menuju krisis energi dan malapetaka ekonomi yang berujung pada ketidakstabilan sosial dan politik.

Artikel ini ditulis oleh:
Areng Permana

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *