Oleh: Prof. Herman Agustiawan, Ph.D
Pakar Ketahanan Energi
Anggota Dewan Energi Nasional 2009-2014
Pendiri Prodi Ketahanan Energi Universitas Pertahanan (UNHAN)
Tantangan dan Peluang Swasembada Energi 2045
Di sektor ketenagalistrikan, jika Indonesia ingin mencapai swasembada energi pada tahun 2045, maka diperlukan langkah luar biasa mengingat kapasitas terpasang saat ini hanya sekitar 92 GW. Konsumsi listrik per kapita rakyat Indonesia masih sangat rendah, sedangkan target pertumbuhan ekonomi yang ingin dicapai cukup tinggi, yaitu 8 persen.
Untuk mendukung pertumbuhan ekonomi tersebut, peningkatan pasokan listrik di semua sektor menjadi kebutuhan mendesak. Pada tahun 2024, konsumsi listrik masih sekitar 1.400 kWh/kapita. Agar kesejahteraan rakyat meningkat, konsumsi listrik minimal perlu mencapai 4.000 kWh/kapita. Dengan jumlah penduduk 282,5 juta jiwa dan pertumbuhan sekitar 1 persen per tahun, diperlukan kapasitas pembangkit listrik terpasang sekitar 230 GW pada tahun 2045.
Keputusan Menteri ESDM No. 314.K/TL.01/MEM.l/2024 tentang Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) merencanakan penggunaan energi nuklir sebesar 8 persen hingga 2060, yang setara dengan total kapasitas PLTN sebesar 35 GW. Target PLTN pertama diharapkan mulai beroperasi pada 2032 di Bangka Belitung dengan kapasitas 500 MWe.
Untuk merealisasikan target ambisius ini, diperlukan program diversifikasi dan efisiensi energi, serta pengembangan sumber Energi Baru dan Terbarukan (EBT), termasuk energi nuklir. Jika pada tahun 2045 porsi nuklir dalam bauran energi pembangkit listrik mencapai 5 persen, maka dari total kapasitas 230 GW, PLTN akan berkontribusi sebesar 11,5 GW.
Keseriusan pemerintah dalam memasukkan nuklir ke dalam bauran energi tercermin dalam berbagai regulasi, baik yang sudah tertuang dalam peraturan perundangan maupun yang masih dalam proses, antara lain: UU No. 59 Tahun 2024, RUKN, RUU EBET (masih tertahan di DPR), dan RPP KEN (menunggu tanda tangan Presiden).
Pada Konferensi Perubahan Iklim COP29 United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) di Baku, Azerbaijan pada November 2024, Utusan Khusus Presiden Bidang Energi dan Lingkungan, Hashim Djojohadikusumo, menyatakan bahwa hingga 2040 Presiden Prabowo Subianto menargetkan tambahan 75 GW dari sumber EBT, dengan sekitar 5,3 GW berasal dari energi nuklir.
Solusi Praktis dan Ekonomis Energi Nuklir
Energi nuklir merupakan salah satu pilar utama dalam swasembada energi karena pasokan dayanya yang stabil, masif, dan rendah karbon. Tidak seperti sumber EBT lainnya yang bergantung pada kondisi cuaca, PLTN bersifat dispatchable, artinya dapat dioperasikan sesuai permintaan dengan faktor kapasitas di atas 0,9.
Dengan emisi karbon yang rendah, energi nuklir selaras dengan tujuan mitigasi perubahan iklim (COP29, 2024) serta komitmen untuk mencapai Net Zero Emissions (NZE) pada tahun 2060 atau lebih cepat. International Energy Agency (IEA) menyatakan bahwa transisi menuju emisi nol bersih akan membutuhkan investasi besar. Kenaikan harga barang dan jasa akibat transisi ini disebut greenflation.
Selain pasokan dayanya yang stabil, energi nuklir juga menawarkan solusi ekonomis jika listrik dari PLTN dapat dijual di bawah Biaya Pokok Produksi (BPP) nasional, yaitu di bawah 7 sen dolar AS per kWh. Indonesia memiliki cadangan uranium dan torium yang signifikan untuk mendukung pengembangan energi nuklir domestik.
Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) memperkirakan cadangan uranium di Indonesia mencapai 81.090 ton dan torium sebesar 140.411 ton. Torium yang melimpah sangat potensial untuk digunakan pada reaktor jenis Small Modular Reactor (SMR). Teknologi SMR memiliki kapasitas di bawah 300 MW, diproduksi secara modular, dan dapat digabungkan untuk meningkatkan kapasitas lebih besar. SMR lebih aman, efisien, dan menghasilkan limbah lebih sedikit dibandingkan PLTN konvensional.
Pada tahap awal, Indonesia mungkin masih perlu mengimpor uranium karena ketidaksiapan dan biaya. Namun, rencana jangka panjang harus berfokus pada pemanfaatan cadangan domestik untuk mendukung kemandirian energi dan pertumbuhan ekonomi.
Tantangan Pemanfaatan Energi Nuklir
Tantangan dalam pengembangan energi nuklir mencakup aspek teknis, sosial, dan ekonomi. Pemilihan teknologi, penerapan standar keselamatan, dan lokasi yang ideal memerlukan koordinasi antara BATAN/BRIN, BAPETEN, KESDM, KLHK, pemerintah daerah, operator PLTN, dan lembaga internasional seperti IAEA.
Selain itu, keterlibatan masyarakat sangat penting untuk memastikan transparansi dan penerimaan sosial. Pemerintah berencana membentuk Komite Pelaksana Program Energi Nuklir (KP2EN) atau Nuclear Energy Program Implementation Organization (NEPIO) untuk mengoordinasikan implementasi program nuklir secara efektif.
Dukungan politik yang kuat juga menjadi faktor utama keberhasilan program nuklir. Regulasi yang jelas, proses perizinan yang efisien, serta dukungan infrastruktur sangat dibutuhkan untuk mencapai target 5,3 GW pada 2040. Alih teknologi dari negara maju serta kemitraan dengan sektor swasta dan masyarakat sangat penting.
Untuk mengatasi tantangan keuangan, investasi swasta melalui model Independent Power Producer (IPP) perlu didukung dengan Perjanjian Pembelian Tenaga Listrik (PPA) jangka panjang hingga 2 x 40 tahun untuk menurunkan biaya produksi selama umur proyek (Levelized Cost of Energy/LCOE).
Dampak pada Perekonomian Nasional
Pengembangan PLTN akan berdampak positif pada ekonomi nasional dengan menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan keterampilan tenaga kerja lokal. Dengan target 35 GW atau lebih dari 100 PLTN pada 2060, industri nuklir nasional dapat berkembang pesat.
Dalam UU Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), Indonesia berencana mengoperasikan PLTN komersial pertama pada 2030-2034 dan mencapai kemandirian teknologi pada 2045.
Rekomendasi Strategis
- Kepastian kebijakan terkait operasionalisasi PLTN pertama pada 2030-2034 dan kemandirian teknologi pada 2045.
- Model IPP dan PPA yang menarik investasi swasta melalui PPA jangka panjang.
- Pemilihan teknologi yang sesuai dengan kemampuan domestik, seperti Molten Salt Reactors (MSR) dan High-Temperature Gas-cooled Reactors (HTGR).
- Alih teknologi yang efektif, termasuk kemitraan dengan negara yang bersedia mentransfer teknologi secara nyata.
- Harga listrik kompetitif, di bawah 7 sen dolar AS per kWh.
Indonesia telah menjalin kemitraan dengan beberapa perusahaan nuklir internasional, seperti ThorCon Power, NuScale Power, dan Rosatom. Hingga saat ini, hanya ThorCon Power yang telah mengajukan proposal resmi dan memulai persiapan konsultasi perizinan dengan BAPETEN.
Kesimpulannya, pengembangan energi nuklir sebagai pilar swasembada energi dapat memastikan ketahanan energi berkelanjutan serta mengurangi ketergantungan pada impor energi. Dengan kebijakan yang kuat, alih teknologi, dan kemitraan strategis, Indonesia dapat menjadi pemimpin global dalam energi bersih menuju Indonesia Emas 2045.
Artikel ini ditulis oleh:
Areng Permana