Oleh: Prof. Herman Agustiawan, Ph.D
Pakar Ketahanan Energi
Anggota Dewan Energi Nasional 2009-2014
Pendiri Prodi Ketahanan Energi Universitas Pertahanan (UNHAN)
Bahan Bakar Nabati (BBN) atau biofuel adalah bahan bakar yang berasal dari sumber hayati (biomassa), seperti tanaman sawit, tebu, singkong, sagu, hingga limbah organik seperti jerami dan serbuk gergaji. Keunggulan utama BBN terletak pada sifatnya yang dapat diperbarui serta emisi karbon yang lebih rendah dibandingkan bahan bakar fosil, sehingga berkontribusi pada upaya pengurangan dampak perubahan iklim. Selain itu, BBN juga memberikan manfaat bagi perekonomian lokal, terutama dalam hal pembukaan lapangan kerja baru, peningkatan pendapatan petani, serta penguatan ketahanan pangan dan energi nasional.
Meski demikian, industri sawit di Indonesia kerap mendapat sorotan dari berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) internasional, terutama terkait isu deforestasi, pelanggaran hak pekerja, dan dampak lingkungan lainnya. Sejumlah LSM global menyoroti dampak negatif industri sawit pada kawasan hutan tropis, habitat satwa liar (misalnya orangutan dan harimau Sumatera), hingga emisi karbon akibat pembakaran lahan. Kampanye negatif ini memengaruhi persepsi masyarakat global, menurunkan permintaan, dan akhirnya berdampak pada hubungan perdagangan internasional.
Sebelum membahas lebih jauh potensi BBN, penting untuk memahami situasi energi di Indonesia dan bagaimana BBN bisa menjadi kunci kemandirian energi nasional.
Ketergantungan pada BBM Impor
Meskipun memiliki sumber daya alam yang melimpah, Indonesia masih bergantung pada impor minyak mentah dan bahan bakar minyak (BBM). Ketergantungan ini menciptakan defisit perdagangan yang terus meningkat sejak 2003 hingga 2023, sekaligus membuat Indonesia rentan terhadap lonjakan harga minyak dunia (oil shock).
Pada 2023, konsumsi BBM nasional mencapai 518 juta barel, sedangkan produksi minyak mentah dalam negeri hanya 221 juta barel. Akibatnya, Indonesia harus mengimpor 297 juta barel BBM—terdiri dari 129 juta barel minyak mentah dan 168 juta barel BBM olahan. Kebutuhan impor ini menguras devisa negara hingga Rp396 triliun, sementara subsidi BBM dan LPG yang dikeluarkan pemerintah mencapai Rp95,6 triliun. Memasuki 2024, jumlah subsidi melonjak hingga Rp230,5 triliun atau sekitar 8 persen dari total APBN, dipengaruhi naiknya harga minyak dunia dan kebijakan pemerintah mempertahankan harga Pertalite serta subsidi program biodiesel.
Besarnya anggaran subsidi energi tersebut berpotensi mengurangi alokasi dana untuk sektor krusial lain seperti pendidikan dan kesehatan. Oleh karena itu, diversifikasi energi menjadi langkah strategis untuk mengurangi ketergantungan pada impor BBM.
Diversifikasi Energi sebagai Solusi
Diversifikasi energi berarti membuka sumber-sumber energi alternatif yang lebih berkelanjutan, dan BBN menjadi salah satu kandidat utama. Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar di dunia, sehingga memiliki potensi besar mengembangkan biodiesel. Namun, diversifikasi bahan baku BBN harus diperluas agar tidak hanya bergantung pada sawit. Sumber lain seperti tebu, singkong, serta limbah pertanian (jerami, sekam padi, dan limbah kayu) berpeluang dikembangkan menjadi BBN generasi kedua.
Program BBN di Indonesia
Pemerintah Indonesia telah menginisiasi berbagai program untuk pengembangan BBN, salah satunya adalah kebijakan mandatori biodiesel. Saat ini, program B35 sedang berjalan, yang mewajibkan pencampuran 35 persen biodiesel ke dalam solar. Program ini diproyeksikan mampu mengurangi emisi karbon hingga 34,9 juta ton CO₂. Pada 2025, rencana pencampuran biodiesel akan ditingkatkan menjadi B40, dengan potensi penghematan devisa mencapai Rp147,5 triliun.
Selain menghemat devisa, program biodiesel meningkatkan nilai tambah minyak sawit—sekitar Rp20,9 triliun—serta menciptakan lebih banyak lapangan kerja dan mengurangi emisi karbon. Namun, semakin tinggi kadar biodiesel dalam campuran, kebutuhan subsidi pun makin besar untuk menyeimbangkan harga biodiesel dan solar.
Data konsumsi menunjukkan bahwa pada 2023, penggunaan biodiesel telah melampaui penggunaan minyak sawit untuk pangan, sehingga berpotensi mengganggu ketahanan pangan. Di sisi lain, Indonesia juga masih bergantung pada impor komoditas pertanian lain, seperti 3,1 juta ton beras, 5,1 juta ton gula, dan 10,6 juta ton gandum pada 2023, di mana produksi beras domestik hanya 30,9 juta ton. Artinya, ketergantungan impor karbohidrat domestik mencapai 44,3 persen.
Jika B50 diterapkan pada 2026, kebutuhan biodiesel akan makin meningkat, sekaligus mengurangi impor solar atau menambah peluang ekspor biodiesel—tentunya berdampak positif pada devisa dan kualitas udara global. Namun, penggunaan minyak sawit sebagai bahan baku utama biodiesel juga dapat mengganggu pasokan pangan (misalnya minyak goreng). Untuk mengantisipasi hal ini, kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) bagi produk sawit sangat diperlukan guna menjaga ketersediaan dalam negeri.
Sementara itu, pengembangan bioetanol masih menghadapi kendala, seperti minimnya investasi, rendahnya adopsi teknologi, dan keterbatasan lahan atau budidaya tanaman bahan baku (tebu, jagung, dan singkong).
Kondisi Global dan Strategi Pasar
Lebih dari 50 negara di dunia telah menerapkan kebijakan pencampuran BBN dengan BBM fosil. Amerika Serikat (AS), Brasil, dan India mendominasi produksi bioetanol, sedangkan Indonesia, AS, dan Brasil mendominasi produksi biodiesel. Apabila Indonesia berhasil menjalankan program B40 (2025) dan B50 (2026) secara konsisten, posisinya sebagai pemain utama di pasar biodiesel global akan semakin kuat, sehingga memungkinkan perluasan ekspor ke pasar Asia-Afrika.
Kendati begitu, peningkatan konsumsi minyak sawit untuk biodiesel berpotensi mengurangi pasokan minyak sawit untuk kebutuhan pangan. Perluasan lahan sawit yang tidak terkendali juga bisa memperburuk citra sawit Indonesia di mata dunia. Oleh karena itu, peningkatan produktivitas perkebunan sawit yang sudah ada, pencarian bahan baku alternatif, serta penguatan diplomasi terkait pelestarian lingkungan menjadi langkah krusial untuk menjaga keberlanjutan industri BBN Indonesia.
Kebutuhan Lahan, Kilang, dan Teknologi
Pengembangan BBN memerlukan lahan yang memadai. Sebagai contoh, untuk mengurangi impor solar sebesar 5 juta kiloliter pada 2023, dibutuhkan sekitar 1,168 juta hektare lahan sawit—setara dengan 0,61 persen dari total luas daratan Indonesia. Lahan dengan kemiringan hingga 20 persen bisa dimanfaatkan untuk perkebunan sawit, sedangkan lahan lebih curam dapat ditanami bahan baku bioenergi lain (misalnya sagu).
Dengan pertanian efisien dan pendekatan multikultur, ketergantungan pada impor BBM bisa dikurangi tanpa mengorbankan ketahanan pangan. Selain permasalahan lahan, diperlukan peningkatan kapasitas kilang sekitar 86,2 ribu barel per hari (Bph) untuk mengolah minyak sawit mentah (CPO) menjadi Fatty Acid Methyl Ester (FAME)—komponen utama biodiesel.
Untuk menekan biaya dan meningkatkan efisiensi produksi, teknologi Hydrodeoxygenation (HDO) dapat diterapkan. Proses HDO menghilangkan kandungan oksigen dalam minyak nabati memakai hidrogen bertekanan tinggi dan katalis, sehingga menghasilkan bahan bakar yang lebih stabil dan berkualitas (seperti bensin, avtur, solar, dan LPG). Namun, penerapan teknologi ini memerlukan investasi jangka panjang, regulasi yang mendukung, serta kerja sama erat antara pemerintah dan sektor swasta.
Jika Indonesia lambat mengimplementasikan langkah ini, negara lain seperti Malaysia atau Brasil bisa memanfaatkan peluang untuk menjadi pusat industri energi terbarukan berbasis biomassa lebih dulu.
Tantangan dan Solusi
Meskipun BBN berpotensi besar, pengembangannya di Indonesia menghadapi beberapa kendala:
- Ketergantungan pada Impor BBM
Defisit energi akibat impor BBM membebani APBN dan membuat Indonesia rentan terhadap gejolak harga minyak global. - Persaingan Pemanfaatan Sumber Daya
Bahan baku BBN seperti sawit dan tebu juga dibutuhkan untuk pangan. Peningkatan konsumsi BBN dapat mengurangi pasokan dan menaikkan harga bahan pangan. - Kebutuhan Lahan yang Besar
Ekspansi lahan untuk BBN perlu pengelolaan hati-hati agar tidak memicu deforestasi dan konflik lahan. - Investasi Teknologi dan Infrastruktur
Produksi BBN, terutama bioetanol dan biodiesel generasi kedua, masih terhambat oleh biaya tinggi serta keterbatasan teknologi dan kapasitas kilang. - Tekanan Internasional dan Isu Lingkungan
Industri sawit Indonesia sering dikritik atas dampak ekologisnya, yang berpengaruh pada ekspor dan hubungan dagang global.
Untuk mengatasi berbagai tantangan tersebut, berikut langkah-langkah yang dapat ditempuh:
- Diversifikasi Bahan Baku
Menggunakan sumber alternatif seperti sagu, singkong, dan limbah pertanian guna mengurangi ketergantungan pada sawit dan tebu. - Peningkatan Efisiensi Produksi
Mengadopsi teknologi HDO dan metode pertanian berkelanjutan untuk menekan biaya produksi dan meningkatkan produktivitas. - Optimalisasi Lahan
Memanfaatkan lahan non-produktif untuk tanaman bioenergi sehingga tidak menggeser lahan pangan. - Kebijakan DMO (Domestic Market Obligation)
Menjamin ketersediaan minyak sawit dan bahan baku lain bagi kebutuhan domestik sebelum dialihkan ke produksi BBN. - Diplomasi dan Sertifikasi Berkelanjutan
Memperkuat citra industri sawit melalui penerapan standar ramah lingkungan dan tata kelola lahan yang baik. - Reformasi Subsidi Energi
Secara bertahap mengalihkan subsidi BBM fosil ke energi bersih agar tercipta iklim yang mendukung pengembangan BBN.
Kesimpulan
Dengan kebijakan yang tepat, Indonesia dapat menghemat triliunan rupiah per tahun dan mengalihkannya ke sektor strategis seperti pendidikan, kesehatan, serta infrastruktur hijau. Langkah ini akan membantu Indonesia mencapai kemandirian energi sekaligus mereduksi dampak lingkungan dari penggunaan bahan bakar fosil.
“Indonesia kini berada di persimpangan jalan menuju kemandirian energi dan pangan.
Apakah kita siap mewujudkannya?”
Pilihan tersebut ada di tangan berbagai pemangku kepentingan—pemerintah, pelaku industri, masyarakat, hingga komunitas internasional—untuk bersama-sama mendorong pengembangan BBN secara bertanggung jawab, efisien, dan berkelanjutan. Dengan demikian, Indonesia berpeluang menjadi kekuatan utama di sektor energi terbarukan berbasis biomassa, sembari tetap menjaga ketahanan pangan, kelestarian lingkungan, dan kesejahteraan masyarakat.
Artikel ini ditulis oleh:
Areng Permana